Pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 2020 tentang tata cara pelaksanaan kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak cukup kontroversial. Perdebatan mengenai kebijakan tersebut telah muncul sejak hukum kebiri mulai diwacanakan di tahun 2016. Namun realisasi eksekusi nyata hukuman kebiri ini kembali memicu ragam intepertasi dan reaksi publik. Kebijakan ini sebenarnya tidak hanya diberlakukan di Indonesia, namun juga sejumlah negara seperti Ceko dan Ukrania. Hal ini dianggap sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan efek jera kepada para pelaku kekerasan seksual terhadap anak sehingga kasus kekerasan seksual dapat ditekan.
Secara teknis, terdapat syarat dan ketentuan dalam pelaksanaan hukuman kebiri kimia ini. Misalnya, hukuman ini berlaku bagi pelaku yang memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain sehingga menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. Penerapan hukuman kebiri kimia ini juga disertai dengan rehabilitasi, pendampingan medis dan psikologis.
Pada prinsipnya, kehadiran negara dalam upaya mencegah dan menghapus segala bentuk kekerasan seksual sangat diperlukan. Dalam perspektif gender misalnya, komitmen dan kebijakan negara dibutuhkan untuk membantu mengurai kompleksitas dimensi dalam setiap kasus kekerasan seksual berbasis gender. Pada dasarnya, kekerasan seksual berbasis gender (terhadap anak dan perempuan) tidak semata-mata persoalan kriminalitas biasa. Namun, jika menilik kasus kekerasan seksual di Indonesia, terdapat kesalingan isu relasi kuasa yang khas seperti gender, kemiskinan, budaya, adat, dan sistem kepercayaan. Sehingga bentuk kekerasan seksual dan instrumen yang digunakan oleh para pelaku kekerasan juga beragam atau tidak terbatas pada kasus pemerkosaan. Pada konteks inilah, sejumlah aktivis perempuan dan HAM mempertanyakan urgensi dan efektivitas dari hukuman kebiri ini.
Dalam Webinar Serba Serbi Hukum Kebiri yang diadakan atas kerjasama SRI INSTITUTE dan LAPPAN Maluku pada Hari Jum’at, 15 Januari 2021, Ulfa Mawardi yang merupakan Stafsus Menteri KPPA Bidang Anak memaparkan bahwa tujuan utama dari hadirnya PP Kebiri ini tidak hanya dilatarbelakangi oleh kasus kekerasan yang marak terjadi pada anak, namun juga sebagai upaya hukum untuk memberi efek jera pada pelaku “Memang spirit utamanya (dari PP Kebiri) memberi efek jera, memberi perlindungan dan rasa adil terhadap korban. Yang perlu ditekankan dari PP ini tidak hanyak kebiri tapi juga pemasangan alat pendeteksi dan rehabilitasi. Ini yang mesti
digaungkan juga,” papar Ulfa Mawardi.
Nur Hasyim, Dosen FISIP UIN WALISONGO yang juga salah satu pendiri Aliansi Laki-laki Baru menyampaikan analisis kritis pribadinya di mana hukum kebiri masih dinilai bermasalah dari sisi konseptual, landasan pikir, heteronormativitas, bias norma maskulinitas, mencegah kemunkaran dengan kemunkaran, serta mengabaikan persoalan struktur dan kultur. Misalnya terkait persoalan struktur dan kultur, “logika hukum kebiri mengabaikan persoalan kultur. Bagi saya, kekerasan berkaitan dengan norma maskulinitas di masyarakat. Ini berkaitan dengan pembuktian manhood atau kelelakian, keberanian mengambil risiko, Juga berkaitan dengan dominasi dan kontrol terhadap perempuan,” ujar Nur Hasyim.
Menakar dari pengalaman pendampingan kasus kekerasan di lapangan, Baihajar Tualeka dari Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) di Maluku mengungkapkan bahwa dari sisi efektifitas penanganan, “PP Hukum Kebiri tidak menjawab pemenuhan hak-hak korban. Kalau dilihat dari perspektif korban sama sekali tidak memenuhi kebutuhan korban. PP juga hanya berlaku bagi kasus kekerasan dengan penetrasi. Bagaimana dengan kasus-kasus kekerasan yang lainnya. Pertanyaan bersama yang harus didiskusikan bersama. Beta lebih merujuk pada (definisi kekerasan dalam) RUU PKS,” ujar Baehajar Tualeka (MM).