RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak
Oleh: Dr. Desintha Dwi Asriani, S.Sos, MA (Dosen Sosiologi FISIPOL UGM dan Direktur Eksekutif SRI Institute)
RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) telah diputuskan sebagai RUU inisiatif DPR pada 30 Juli 2022 lalu. RUU ini secara umum dapat menjadi pijakan masyarakat. Terutama dalam melihat seberapa jauh komitmen negara dalam mengatasi problem ibu bekerja. Rancangan kebijakan tersebut memuat sejumlah tuntutan yang dianggap dapat mendamaikan dilema ibu bekerja selama ini.
Dalam masyarakat patriarkhi, terdapat dikotomi dalam memaknai ranah publik dan domestik. Segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas domestik dianggap kerja tidak berbayar (unpaid works) yang berasosiasi dengan perempuan. Sehingga perempuan (di) harus (kan) mampu mengakses dan bekerja di ranah publik. Agar kegiatannya memiliki nilai ekonomi (paid works).
Di satu sisi, akses pendidikan dan pekerjaan memungkinkan para ibu juga memiliki aspirasi terhadap karier dan kemandirian ekonomi. Tapi identitas ibu seolah tetap lekat dengan kewajiban menuntaskan tugas-tugas domestik seperti pengasuhan dan perawatan. Di sini terlihat pada publik dan domestik seolah dua kubu yang bertentangan. Sementara bagi perempuan yang telah menjadi ibu segalanya melebur dan tumpang tindih. Mereka tidak dapat melepaskan simbol-simbol domestiknya saat bekerja. Mereka tetap harus menjalani rutinitas publik meskipun sedang menstruasi, hamil dan menyusui.
Ketidaksetaraan dalam memaknai dunia publik dan domestik ini berakibat pada rendahnya kualitas kesejahteraan perempuan (Elson, 2017). Para ibu cenderung menghabiskan waktunya untuk mengatasi dilema dan beban gandanya. Sementara rekognisi ekonomi hanya diberikan pada aktivitas yang dilakukan di publik. Sesuai dengan aturan dunia maskulin yang patriarkis. Secara statistik, 50% lebih perempuan pekerja mendominasi sektor informal (BPS, 2021). Ini menggambarkan banyaknya perempuan menjadi pekerja fleksibel karena tuntutan untuk selalu bolak balik di antara publik dan privat. Di sektor informal-pun, perempuan banyak terserap pada kerja perawatan, jasa, dan domestik lainnya. Mereka menjadi (tetap) rentan karena upah rendah dan absennya perlindungan sosial. Sehingga adanya akses pada sektor kerja tidak pernah benar-benar berkorelasi pada kemandirian (ekonomi) perempuan secara utuh.
Dalam prinsipnya, perlu ada terobosan baru yang dibangun untuk menciptakan kesetaraan pada kerja yang selama ini dianggap berbayar dan tidak berbayar tadi. Misalnya dapat diawali dengan adanya standar upah yang jelas untuk kerja-kerja yang selama ini lekat dengan peran perempuan. Logikanya, jika posisi tawar dan upah pekerja asisten rumah tangga, perawat (orang sakit), dan pengasuh bayi dapat meningkat. Maka nilai pekerjaan berbasis domestik akan setara dengan kerja-kerja yang identik dengan publik.
RUU KIA sebenarnya dapat menjadi terobosan yang solutif. Istilah hak ibu bekerja mengandung makna bahwa tugas-tugas domestik dan publik sama pentingnya. Sehingga tidak hanya aturan-aturan publik yang menjadi sentral. Namun negara juga perlu menjamin adanya pemenuhan kebutuhan berbasis isu-isu domestik. Perpanjangan cuti hamil dan melahirkan bagi ibu bekerja memang dapat menjadi alternatif. Tapi cuti semacam ini sebetulnya dapat berlaku bagi kedua orang tua. Sebab memandikan, menggendong dan mencuci baju bayi bisa dilakukan oleh siapapun termasuk laki-laki/suami/ayah. Selain itu, isu tentang fasilitas penunjang yang disebutkan dalam RUU juga perlu dipikirkan bagaimana implementasi strategisnya.
Poin mendasarnya, tujuan besar dari RUU KIA harus berorientasi pada perubahan budaya jangka panjang. Perlu ada mekanisme sistematis yang dapat mengubah pandangan yang hanya mengasosiasikan beban pengasuhan dan perawatan dengan peran ibu/perempuan. Benar, pasal-pasal RUU KIA memiliki substansi yang menegaskan pasangan (suami), keluarga, perusahaan dan negara juga memiliki tanggung jawab sepadan. Namun penjelasan dalam RUU ini masih perlu dilengkapi. Terutama aturan yang menjamin berbagai pihak pasti bersedia terlibat dalam tugas domestik seperti pengasuhan dan perawatan secara berkelanjutan.