Membincang Maskulinitas Positif dan Negatif

Maskulinitas dalam budaya patriarkhi dan norma sosial pada umumnya dilekatkan pada karakter-karakter tertentu yang dianggap sebagai ciri utama bagi sosok laki-laki. Karakter-karakter maskulinitas yang menjadi normalitas menuntut laki-laki untuk tangguh, keras, gagah dan lain sebagainya. Dengan ciri-ciri maskulinitas tersebut, stigma negatif kerap dilekatkan pada laki-laki yang memiliki ciri-ciri sebaliknya. Misalnya pelabelan ‘kemayu’ pada lelaki yang terlibat peran-peran domestik seperti memasak atau mencuci. Anggapan bahwa laki-laki dengan karakter maskulin yang mainstream seperti tersebut di atas adalah lelaki menjadikan laki-laki tertuntut untuk selalu tampil sesuai ekspektasi budaya dan norma sosialnya.

Studi yang dilakukan oleh Asosiasi Psikologi Amerika menyebutkan, praktik maskulinitas tradisional membahayakan baik anak lelaki, lelaki dewasa serta orang-orang di sekitar mereka. Salah satu implikasi dari praktik tradisional maskulinitas adalah kekerasan berbasis gender. Untuk menjawab berbagai implikasi praktik tradisional maskulinitas, konsep maskulinitas yang positif menjadi alternatif yang bisa ditawarkan. Namun gaungnya masih belum terdengar luas. Di Indonesia, maskulinitas positif masih menjadi pembahasan yang ekslusif pada pihak-pihak tertentu.

SRI INSTITUTE mencoba mengkampanyekan praktik maskulinitas yang positif. Salah satunya dilakukan menggunakan media podcast dan streaming melalui youtube yang dikemas dengan talkshow ringan. Platform podcast dan youtube digunakan sebagai upaya untuk menjangkau kalangan yang lebih luas khususnya masyarakat internet (netizen) yang aktif memanfaatkan kanal-kanal online sebagai media hiburan.

Kampanye praktik maskulinitas positif ini salah satunya disampaikan dalam diskusi bulanan yang dilaksanakan pada 9 Januari 2021. Menghadirkan Nur Hasyim, Pendiri Aliansi Laki-Laki Baru, diskusi daring ini membincangkan bagaimana maskulinitas yang diekspresikan secara negatif dan positif. Merujuk pada pemaparan Nur Hasyim atau lelaki yang akrab disapa dengan sebutan Mas Boim ini, maskulinitas adalah definisi sosial yang dilekatkan kepada laki-laki. Maskulinitas mengartikan bagaimana laki-laki itu berperilaku, berpikiran, bersikap, cara berpakaian dan seterusnya. Atau dalam bahasa lainnya, maskulinitas adalah tentang cara bagaimana laki-laki hidup dalam masyarakat.

Maskulinitas mempengaruhi cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak laki-laki. Dalam masyarakat kita, yang diyakini laki-laki itu berkaitan dengan kekuasaan, berkaitan dengan kekuatan fisik, heteroseksualitas, dan kepemilikan materi. Jadi laki-laki itu harus jadi pemimpin, kuat secara fisik, macho dan heteroseksual. Ini jadi standar bagaimana laki-laki hidup. Maskulinitas ini dipelajari oleh laki-laki lalu digetoktularkan (disosialisasikan), lalu diwariskan dari generasi ke generasi sampai muncul keyakinan bahwa itu sesuatu yang seharusnya. Itu sesuatu yang normal. Jadi laki-laki harus bersikap, berpenampilan dan berperilaku seperti itu. Sehingga di luar penampilan dan sikap seperti itu dianggap menyalahi kenormalan laki-laki.

“Saya mengistilahkan itu sebagai maskulinitas yang merugikan atau membahayakan. Saya juga menyebutkan tidak manusiawi atau tidak sehat. Dalam konsep maskulinitas negatif atau saya menyebutkan tidak manusiawi begini, jangankan menghargai orang lain, dia bahkan tidak menghargai diri sendiri. Misalnya self respect atau menghargai diri sendiri itu kan dia bergantung pada diri sendiri. Laki-laki itu kan harus dilayani. Jadi itu tidak memberikan respek kepada diri sendiri sebagai manusia yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Laki-laki banyak terlibat dalam perilaku yang berisiko misalnya kebut-kebutan di jalan, terlibat dalam kekerasan. Tidak ada self respect. Tidak asertif. Laki-laki lebih agresif dalam menyelesaikan konflik. Maskulinitas yang hurtful itu tidak manusiawi. Bagi laki-laki sendiri apalagi bagi orang lain,” papar Mas Boim.

Topik masukulinitas ini belum mendapatkan banyak ruang. Sementara di sisi lain, kesetaraan gender terus didorongkan dan selama ini masih berfokus pada perempuan yang didorongkan dengan berbagai program pemberdayaan. Pada saat yang sama, laki-laki ditinggalkan. Laki-laki masih berada dalam konsep dan keyakinan tradisionalnya. Laki-laki masih memandang dirinya dominan, memiliki prioritas dalam mengambil keputusan, memandang perempuan harus taat-tunduk-patuh pada apa yang diputuskan laki-laki. Ketika perempuan berubah melalui program pemberdayaan, laki-laki tidak berubah, itu kan menjadi tidak mudah untuk membangun kesetaraan gender yang dibayangkan,” ucap Mas Boim.

Mas Boim menelurkan banyak tulisan untuk menggali isu maskulinitas yang dia sebut sebagai masukilinitas tidak manusiawi ini dalam buku berjudul, “Good Boys Doing Feminism” terbitan EA Book. Tulisan-tulisannya adalah bentuk kegelisahan sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan mungkinkah laki-laki terlibat dalam upaya membangun kesetaraan gender. Praktik maskulinitas yang positif atau yang manusiawi menurut Nur Hasyim menjadi salah satu jawaban yang memungkinkan keterlibatan laki-laki (MM).